Senin, 30 Januari 2012

Bahasa Indonesia Yang Gaul


Bahasa tidak bisa terpisahkan dari kehidupan. Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa itu merupakan alat yang sangat tidak memadai untuk berfikir dengan tertib dan untuk melahirkan pendapat (C.P.F.Lecoutere, L. Grootaers).  Untuk berkomunikasi dengan orang lain kita membutuhkan bahasa yang bisa membuat kita saling mengerti dan memahami apa yang kita sampaikan dengan orang lain. Dari masa ke masa memang bahasa terus berubah dan mengalami perkembangan. Hal ini dirasa wajar karena kehidupan manusia itu dinamis, selalu mengalami perkembangan.
Bahasa Indonesia yang selalu kita gunakan pun juga terus berubah. Fenomena munculnya bahasa gaul yang biasa dibilang alay semakin menggema. Dewasa ini, penggunaan bahasa Indonesia kian tergeser oleh bahasa gaul, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di dunia media. Anak muda sekarang cenderung menggandrungi bahasa ini, namun ada juga yang tidak suka. Fenomena ini senantiasa bisa salah kaprah atau bahkan bisa merusak.
Keberadaan bahasa alay dianggap kaum muda sebagai alat komunikasi yang gaul dalam pergaulan sehari-hari. Baik secara lisan maupun tulisan, bahasa ini dianggap sebagai media untuk berekspresi. Namun, tanpa disadari, semakin lama bahasa alay bisa mengancam eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan karena semakin jauh berbeda dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seharusnya kaum muda bisa menempatkan dirinya dan mengikuti kaidah-kaidah Bahasa Indonesia, karena bahasa menunjukkan jati diri dan karakter seseorang dan juga bangsa.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah akan dibawa kemana bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa persatuan kita ini? Apakah kita akan terus terlarut dalam penggunaan bahasa asing, bahasa alay dan bahasa gaul yang kian meruntuhkan integritas bahasa Indonesia itu sendiri? Jawabannya ada pada diri kita sebagai bangsa yang mencintai bangsanya dan bahasanya.
Di satu sisi, pengucapan bahasa merupakan hak dari penuturnya. Terserah penutur ingin menggunakan bahasa apa saja. Akan tetapi bahasa itu seperti halnya dengan manusia. Bahasa bisa hidup dan juga bisa mati. Apakah kita akan membiarkan bahasa Indonesia itu mati?  Sebagaimana dengan hakikat bahasa itu sendiri, bahasa itu bersifat dinamis. Bahasa akan terus berkembang, baik secara kontak sosial langsung maupun tidak langsung. Bahasa Indonesia pun juga demikian. Keterbukaan dirasa perlu agar bahasa Indonesia menjadi bahasa yang berkualitas, artinya bahasa Indonesia tidak hanya menjadi bahasa komunikasi semata, tetapi juga sebagai bahasa pendidikan.
Di sisi lain, munculnya berbagai macam bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia tidak semuanya berdampak buruk terhadap bahasa Indonesia. Munculnya beragam jenis bahasa asing juga bisa memperkaya bahasa Indonesia itu sendiri. Akan tetapi, perlu adanya kontrol agar penggunaan istilah asing tersebut proporsional. Di sinilah peran Badan Penelitian Pengembangan dan Pembinaan Bahasa diperlukan untuk menyaring istilah bahasa asing yang masuk ke dalam Bahasa Indonesia dan melakukan kontrol terhadap penggunaan bahasa itu sendiri.
Bahasa alay yang semakin sering digunakan oleh kaum muda Indonesia saat ini hanya punya syarat mengancam dan merusak bahasa Indonesia apabila digunakan pada media yang tidak pada tempatnya. Sebaliknya, jika bahasa alay hanya digunakan sebagai bahasa pergaulan, atau digunakan di media-media baru yang memilih cara interaksi yang baru seperti situs jejaring sosial Facebook ataupun Twitter, maka bahasa “alay” tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Biarkan bahasa-bahasa gaul tersebut berinteraksi pada tempatnya. Dengan keberadaan bahasa gaul akan dapat memperkaya kajian para ahli linguistik. Kita tidak perlu gelisah secara berlebihan terhadap fenomena menjamurnya bahasa “alay” atau bahasa gaul di kalangan kaum muda masa kini. Bahasa “alay” tidak akan merusak bahasa Indonesia. Dengan munculnya beragam bahasa alay dan bahasa gaul, maka eksistensi Bahasa Indonesia justru akan teruji dan berkembang sesuai zamannya, dengan adanya berbagai variasi bahasa di sekitarnya. Sudah selayaknya kita menjadikan Bahasa Indonesia untuk berbicara satu sama lain dalam kehidupan kita sehari-hari karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan kita. Selain itu, bahasa merupakan cermin jati diri dan karakter suatu bangsa.

Minggu, 29 Januari 2012

Teori Kerjasama dan Persaingan Kelompok


Perbedaan kerjasama dan persaingan sesungguh nya  terletak pada sifat wilayah-wilayah tujuan pada kedua situasi tersebut. Dalam situasi kerjasama, wilayah yang menjadi tujuan dari seorang anggota kelompok atau sub kelompok hanya dapat dimasuki oleh individu atau oleh sub-sub kelompok yang bersangkutan jika individu-individu lain atau sub kelompok lain juga bisa memasuki wilayah tujuan itu. Kemudian terdapat Teori yang  dikembangkan oleh Deutsch (1949) dan didasarkan pada Teori Lapangan dari Kurt Lewin. Pusat perhatian teori ini adalah pengaruh dan kerja sama (cooperation) dan persaingan (competition) dalam kelompok kecil.

A.    Konsep teori kerjasama dan persaingan
Teori ini dikembangkan oleh Deutsch (1949) dan didasarkan pada Teori Lapangan dari Kurt Lewin. Pusat perhatian teori ini adalah pengaruh dan kerja sama (cooperation) dan persaingan (competition) dalam kelompok kecil. Perbedaan antara kerja sama dan persaingan menurut Deutsch ter­letak pada sifat wilayah-wilayah tujuan pada kedua situasi tersebut. Dalam situasi kerja sama, wilayah yang menjadi tujuan dari seorang anggota kelompok atau subkelompok hanya dapat dimasuki oleh individu atau oleh sub-sub kelompok yang bersangkutan jika individu-individu lain atau subkelompok lain juga bisa memasuki wilayah tujuan itu. Wilayah­ wilayah tujuan dari anggota-anggota kelompok itu dikatakan sebagai saling menunjang (promotively interdependent goals).
Dalam situasi persaingan, kalau seorang individu atau suatu sub­kelompok sudah memasuki wilayah tujuan, maka individu-individu atau sub-subkelompok yang lain tidak akan bisa mencapai wilayah tujuan mereka masing-masing. Hubungan antara wilayah-wilayah tujuan ang­gota-anggota kelompok dinamakan saling menghambat (contriently interdependent goals). Dengan demikian, orang-orang dalam situasi di mana wilayah-wilayah tujuannya saling menunjang akan berlokomosi bersama-sama ke arah wilayah tujuan termaksud, sedangkan orang-orang dalam situasi yang wilayah tujuannya saling menghambat akan berlokomosi sedemikian rupa sehingga orang lain dalam kelompoknya tidak mencapai wilayah tujuan masing-masing.

B.     Hipotesis – hipotesis dari konsep teori kerjasama dan persaingan
              Berdasarkan definisi dan dampak kerja sama dan persaingan ter­sebut di atas, Deutsch membuat sejumlah hipotesis sebagai berikut:
1)      Individu-individu dalam situasi kerja sama akan melihat diri mereka sendiri saling mendukung clan individu-individu dalam situasi per­saingan akan melihat diri mereka sendiri saling menghambat.

2)      Tindakan substitusi lebih banyak terjadi dalam situasi kerja sama daripada situasi persaingan (substitusi berarti tindakan seseorang dapat digantikan oleh tindakan orang lain; tidak perlu dua orang melakukan tindakan yang sama).

3)      Lebih banyak tindakan yang dipandang positif (menyenangkan) oleh anggota-anggota lain dalam kelompok kerja sama daripada dalam kelompok persaingan.
3a) Lebih banyak tindakan yang dipandang negatif (tidak menye­   nangkan) oleh anggota-anggota lain dalam kelompok persa­ingan daripada dalam kelompok kerja sama.

4)      Dalam kelompok kerja sama lebih banyak daya pada diri anggota kelompok yang diproduksi dan disalurkan ke arah yang sesuai dengan arah yang dimaksud oleh pihak pengarah (inducer) daripada dalam kelompok persaingan.
4a) Dalam diri masing-masing anggota kelompok kerja sama lebih banyak terdapat konflik daripada dalam diri anggota-anggota kelompok persaingan.

5)      Anggota kelompok kerja sama akan lebih banyak saling menolong daripada anggota kelompok persaingan.
5a)Anggota kelompok persaingan akan lebih banyak saling meng­hambat daripada anggota kelompok kerja sama.

6)   Dalam satu waktu tertentu lebih banyak aktivitas yang saling ber­kaitan (bekerja bersama-sama) antara angggta - ke[ompok kerja sama daripada anggota kelompok persaingan.
6a) Dalam suatu angka waktu, lebih sering terjadi koordinasi usaha dalam situasi kerja sama daripada situasi persaingan.

7)      Homogenitas dalam artian sumbangan atau partisipasi lebih besar dalam situasi kerja sama daripada situasi persaingan.
8)      Spesialisasi dari tugas dalam situasi kerja sama lebih besar daripada situasi persaingan.
9)      Spesialisasi dari aktivitas dalam situasi kerja sama lebih besar dari­pada situasi persaingan.
10)  Struktur tugas dalam situasi kerja sama lebih stabil daripada situasi persaingan.
11)  Peralihan peran dalam rangka penyesuaian terhadap perubahan lingkungan lebih dapat terjadii dalam situasi kerja sama daripada dalam situasi persaingan.
12)  Arah dari daya dalam kelompok kerja sama lebih serupa satu sama lain dari arah clan daya dalam kelompok persaingan.
13)  Tekanan untuk berprestasi lebih berat dalam kelompok kerja sama daripada kelompok persaingan.
14)   Kekuatan daya yang menuju ke arah tujuan, pada kelompok kerja sama lebih besar daripada kelompok persaingan.
15)   Jumlah keseluruhan daya yang bekerja pada individu-individu dalam situasinya masing-masing tidak berbeda antara yang berada dalam situasi kerja sama dan situasi persaingan.
16)  Kalau tugas yang diberikan dapat diukur dengan lokomosi yang dapat dilihat (abservable) tanda-tandanya, maka tanda-tanda itu akan lebih banyak terlihat pada kelompok persaingan per unit waktu daripada kelompok kerja sama.
17)  Bila lokomosi dimungkinkan tanpa menimbulkan tanda-tanda,maka tanda-tanda yang akan timbul akan lebih banyak pada ke­lompok kerja sama per unit waktu daripada kelompok persaingan.
18)  Perhatian terhadap tanda-tanda yang ditimbulkan oleh orang lainIcbih sedikit dalam kelompok persaingan daripada kelompok kerja sama.
19)  Kesulitan komunikasi lebih besar dalam kelompok persaingan daripada kelompok kerja sama.
20)  Kesulitan komunikasi lebih besar, bahkan jika saling perhatian cukup tinggi, pada kelompok persaingan daripada kelompok kerja sama.
21)  Saling setuju dan saling menerima antara orang-orang yang saling berkomunikasi dalam kelompok kerja sama lebih terjadi daripada kelompok persaingan.
22)  Anggota kelompok kerja sama akan lebih tahu tentang aktivitas dalam kelompoknya daripada anggota kelompok persaingan.
23)  Orientasi pada kelompok lebih besar dalam kelompok kerja sama daripada kelompok persaingan.
24)  Produktivitas per unit waktu lebih besar pada kelompok kerja sama daripada kelompok persaingan.
24a) Waktu yang dibutuhkan oleh kelompok kerja sama untukmenghasilkan suatu jumlah produksi tertentu lebih singkatdaripada waktu yang dibutuhkan oleh kelompok persainganuntuk memproduksi jumlah yang sama.
25)  Kualitas hasil produksi dari kelompok kerja sama lebih tinggi dari­pada kelompok persaingan.
26)  Anggota-anggota kelompok kerja sama lebih banyak saling belajar antarmereka daripada anggota-anggota kelompok persaingan.
27)  Suasana bersahabat lebih besar dalam kelompok kerja sama dari­pada kelompok persaingan.
28)  Anggota kelompok kerja sama menilai hasil kerja kelompoknya lebih tinggi daripada penilaian anggota-anggota kelompok per saingan terhadap hash kelompok mereka.
29)  Tugas bersama dalam kelompok kerja sama lebih besar pPrsent<i­senya daripada kelompok persatngan.
30)  Tugas perorangan lebih besar persentasenya dalam kelompok persaingan daripada kelompok kerja sama.
31)  Pandangan seseorang terhadap sikap orang lain pada dirinya akan lebih realistis dalam kelompok kerja sama daripada kelompok persaingan.
32)  Sikap seseorang terhadap tugasnya sendiri dalam kelompok kerj;i sama lebih mirip dengan sikap orang-orang lain terhadap tugasny;i itu daripada dalam kelompok persaingan.
33)  Anggota kelompok kerja sama lebih banyak melihat dirinya sendiri sebagai suatu yang menguntungkan buat orang lain daripada jika is adalah anggota kelompok persaingan.
34)  Peleburan diri (incorporation) dengan sikap dari orang-orang lain pada umumnya (attitude of generalized others) lebih Bering terjacli dalam kelompok kerja sama daripada dalam kelompok persaingan.
Daftar Pustaka

Sarlito Wirawan Sarwono.2005. teori-teori psikologi social.jakarta:PT Raja Grafindo Persada
http://debluesearching.blogspot.com/2010/08/sosial-teori-medan.html

Teori Kebutuhan Dan Teori Motivasi


 

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow (Abraham Maslow)

Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi.
Kebutuhan maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.
Lima (5) kebutuhan dasar Maslow - disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial :
1. Kebutuhan Fisiologis
Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.
3. Kebutuhan Sosial
Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
4. Kebutuhan Penghargaan
Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya

Karya Maslow

Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Kebutuhan fisiologis/ dasar
  2. Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
  3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
  4. Kebutuhan untuk dihargai
  5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri


Model Kebutuhan Berbasis Motivasi McClelland
David McClelland (Robbins, 2001 : 173) dalam teorinya Mc.Clelland’s Achievment Motivation Theory atau teori motivasi prestasi McClelland juga digunakan untuk mendukung hipotesa yang akan dikemukakan dalam penelitian ini. Dalam teorinya McClelland mengemukakan bahwa individu mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi serta peluang yang tersedia.
Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan akan prestasi (achiefment), kebutuhan kekuasaan (power), dan kebutuhan afiliasi.
Model motivasi ini ditemukan diberbagai lini organisasi, baik staf maupun manajer. Beberapa karyawan memiliki karakter yang merupakan perpaduan dari model motivasi tersebut.
A. Kebutuhan akan prestasi (n-ACH)
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri inidividu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.
n-ACH adalah motivasi untuk berprestasi , karena itu karyawan akan berusaha mencapai prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut.
B. Kebutuhan akan kekuasaan (n-pow)
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan.
n-pow adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi.
C. Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat (n-affil)
Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
McClelland mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi.
Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala Mcclelland:
a). Pencapaian adalah lebih penting daripada materi.
b). Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi
yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan.
c). Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran sukses
(umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan faktual).


Teori Motivasi
Motivasi dapat diartikan sebagai faktor pendorong yang berasal dalam diri manusia, yang akan mempengaruhi cara bertindak seseorang. Dengan demikian, motivasi kerja akan berpengaruh terhadap performansi pekerja.
Menurut Hilgard dan Atkinson, tidaklah mudah untuk menjelaskan motifasi sebab :
1. Pernyataan motif antar orang adalah tidak sama, budaya yang berbeda  akan menghasilkan ekspresi motif yang berbeda pula.
2. Motif yang tidak sama dapat diwujudkan dalam berbagai prilaku yang tidak sama.
3. Motif yang tidak sama dapat diekspresikan melalui prilaku yang sama.
4. Motif dapat muncul dalam bentuk-bentuk prilaku yang sulit dijelaskan
5. Suatu ekspresi prilaku dapat muncul sebagai perwujudan dari berbagai motif.

Motif Pendorong Perilaku Manusia Menurut Malvin.
  • Motif Kekuasaan
Merupakan kebutuhan manusia untuk memanipulasi manusia lain melalui keunggulan-keunggulan yang dimilikinya. Malvin menyimpulkan bahwa motif kekuasaan dapat berfifat negatif atau positif. Motif kekuasaan yang bersifat negatif berkaitan dengan kekuasaan seseorang. Sedangkan motif kekuasaan yang bersifat positif berkaitan dengan kekuasaan social (power yang dipergunakan untuk berpartisipasi dalam mencapai tujuan kelompok).
  • Motif Berprestasi
Merupakan keinginan atau kehendak untuk menyelesaikan suatu tugas secara sempurna, atau sukses didalam situasi persaingan. Menurut dia, setiap orang mempunyai kadar n Ach (needs for achievement) yang berlainan. Karakteristik seseorang yang mempunyai kadar n Ach yang tinggi (high achiever) adalah :
1. Risiko moderat (Moderate Risks) adalah memilih suatu resiko secara moderat
2. Umpan balik segera (Immediate Feedback) adalah cenderung memilih tugas
yang segera dapat memberikan umpan balik mengenai kemajuan yang telah dicapai dalam mewujudkan tujuan, cenderung memilih tugas-tugas yang mempunyai criteria performansi yang spesifik.
3. Kesempurnaan (accomplishment) adalah senang dalam pekerjaan yang dapat
memberikan kepuasaan pada dirinya.
4. Pemilihan tugas adalah menyelesaikan pekerjaan yang telah di pilih secara tuntas
dengan usaha maiksimum sesuai dengan kemampuannya.

  • Motif Untuk Bergabung
Motif untuk bergabung dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk berada bersama orang lain. Kesimpulan ini diperoleh dari studinya yang mempelajari hubungan antara rasa takut dengan kebutuhan berafiliansi.

  • Motif Keamanan (Security Motive)
Merupakan kebutuhan untuk melindungi diri dari hambatan atau gangguan yang akan mengancam keberadaannya. Di dalam sebuah perusahaan misalnya, salah satu cara untuk menjaga agar para karyawan merasa aman di hari tuanya kelak, adalah dengan memberikan jaminan hari tua, pesangon, asuransi, dan sebagainya

  • Motif Status (Status Motive)
Merupakan kebutuhan manusia untuk mencapai atau menduduki tingkatan tertentu di dalam sebuah kelompok, organisasi atau masyarakat. Parsons, seorang ahli sosiologi menyimpulkan adanya beberapa sumber status seseorang yaitu :
1. Keanggotaan di dalam sebuah keluarga. Misalnya, seorang anggota keluarga yang memperoleh status yang tinggi oleh karena keluarga tersebut mempunyai status yang tinggi di lingkungannya.
2. kualitas perseorangan yang termasuk dalam kualitas perseorangan antara lain
karakteristik fisik, usia, jenis kelamin, kepribadian.
3. Prestasi yang dicapai oleh seseorang dapat mempengaruhi statusnya. Misalnya,
pekerja yang berpendidikan, berpengalaman, mempunyai gelar, dsb.
4. Aspek materi dapat mempengaruhi status seseorang di dalam lingkungannya.
Misalnya, jumlah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
5. Kekuasaan dan kekuatan (Autoriry and Power). Dalam suatu organisasi, individu yang memiliki kekuasaan atau kewenangan yang formal akan memperoleh status yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu-individu yang ada di bawahnya.
Selain dari teori-teori di atas, Teori Motivasi itu juga dapat dirumuskan kembali
menjadi 3 kelompok, yaitu :
A. Teori Kepuasan ( Content Theory )
B. Teori Proses ( Process Theory )
C. Teori Pengukuhan ( Reinforcement The

Teori Thomas Hobbes
Dalam menjawab pertanyaan tentang tertib sosial, Hobbes mengacu kepada Rasionalisme abad 17 yang mendasari teori terjadinya negara dan hukum atas dasar kontrak dan persetujuan rakyat. ‘Kontrak sosial’ adalah suatu fiksi, hasil teoretisasi di alam pemikiran, bahwa terbentuknya organisasi kehidupan bernegara, berikut lembaga-lembaga pemerintahannya, berasal dari kesediaan rakyat yang rasional untuk melepaskan sebagian dari hak-hak kebebasan kodratinya yang asasi, demi terselenggaranya kehidupan bersama yang tertib. Teori kontrak sosial ini mengisyaratkan adanya dasar moral pembenar bahwa kekuasaan para pejabat negara itu bukan berasal dari sumber manapun melainkan dari persetujuan rakyat. Keterikatan rakyat pada segala bentuk aturan yang ditegakkan para pejabat kekuasaan negara, dengan demikian, akan termaknakan sebagai keterikatan atas dasar kedaulatan dan persetujuan mereka sendiri. Di sini terbangunlah konsep tentang terbatasinya kebebasan kodrati rakyat oleh suatu kekuatan yang tak lain daripada kebebasan rakyat itu sendiri, ialah kebebasan mereka untuk berkontrak sosial, yang termaknakan sebagai kebebasan untuk mengurangi kebebasan (sampai batas tertentu). Hobbes justru tiba pada simpulan yang memberikan dasar pembenar pada model pemerintahan yang otokratik. Menurut Hobbes, dalam “keadaan alami sebelum terbentuknya masyarakat negara” setiap individu manusia akan berkebebasan secara tanpa batas. Dalam kehidupan natural-state itu, setiap individu manusia memiliki kebebasan untuk berbuat apapun dan/atau untuk objek apapun juga. Kebebasan tanpa batas seperti itu, wajarlah kalau akan berkonsekuensi pada terjadinya perkelahian oleh semua terhadap semua, belum omnium contra omnes, dan setiap manusia akan berlaku sebagai serigala bagi sesamanya; homo homini lupus! Maka, situasi yang tidak menguntungkan itu hanya akan dapat diatasi apabila manusia-manusia -- yang masing-masing berkebebasan dalam keadaan alami itu – bersedia membentuk suatu komunitas politik lewat suatu kontrak sosial. Lewat kontrak sosial itu, individu-individu manusia akan dapat menikmati hak-haknya sebagai warga komunitas, asal saja mereka bersedia untuk berlaku patuh pada hukum yang berhakikat sebagai hasil kesepakatan kontraktual, dan juga untuk tunduk mutlak kepada penguasa yang bertugas menegakkan hasil kesepakatan kontraktual. Karena sang penguasa ini berposisi sebagai pihak ketiga yang bukan partisipan kontrak sosial, maka sang penguasa ini tak akan sekali-kali terikat pada kontrak sosial tersebut. Dari sinilah datangnya simpulan Hobbes, sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Leviathan, bahwa kontrak sosial -- yang bertujuan menjaga tertib sosial dengan memberikan mandat penuh kepada penguasa itu -- akan membenarkan penyelenggaraan pemerintahan otokratik yang absolut

TEORI GARDENER MURPHY
Perkembangan kepribadian dalam pandangan Gardener Murphy : merupakan tahap-tahap dinamis, berubah-ubah yang terdiri dari fase keseluruhan (tanpa differensiasi), kemudian fase diferensiasi dan fase integrasi yaitu fungsi yang sudah mengalami diferensiasi diitegrasikan dalam satu unit yang berkoordinasi. Fase keseluruhan merupakan watak umum yang mendominasi seperti pemarah, pemberani, semangat, penipu, pembelajar, petualang. Dalam perkembangan berikutnya terdiferensiasi misalnya pemberani yang memilki semangat pembelajar, penipu yang memiliki darah seni. fase integrasi yaitu fungsi yang sudah mengalami diferensiasi diitegrasikan dalam satu unit yang berkoordinasi biasanya di atas 40 tahun kepribadiannya menjadi mantap dan cenderung menetap.
Gardner Murphy (1968) menyimpulkan bahwa psikologi-psikologi itu pada hakikatnya merupakan suatu reaksi terhadap kehidupan yang dilihat sebagai penuh dengan penderitaan dan kekecewaan. Cara umum untuk mengatasi penderitaan yang dianjurkan oleh psikologi-psikologi ini adalah disiplin dan kontrol diri, yang dapat memberikan kepada orang yang mengupayakannya “suatu perasaan ekstase yang tak terbatas dan hanya dapat ditemukan dalam diri yang bebas dari pamrih-pamrih pribadi”.
Menurut Gardner Murphy, manusia dalam kajian kepribadian telah membentuk sistem pribadi yang komplek berisi keinginan-keinginan yang relatif dimiliki dan dipertahankan dan sekaligus tidak ditemukan adanya peringatan dari luar. Maka di dalam ”kepribadian” manusia tercakup sistem nilai pribadi.
Psikologi Gardner Murphy mengadakan eksperimen dengan kelinci berbulu putih. Bulu putih ini adalah turun temurun tetapi hanya dengan mengubah cahaya di dalam kamar tempat dibesarkannya kelinci itu, warna bulunya berubah menjadi gelap. Potensi warna putih itu dapat berwujud putih kalau lingkungannya memungkinkannya. Demikian juga jenis ikan tertentu seperti flounder (ikan datar/flat fish), yang memiliki tendensi untuk memiliki dua mata di setiap sisi kepalanya, apabila dibesarkan di air yang kadar garamnya berbeda, di setiap sisi kepalanya akan terdapat hanya satu mata seperti ikan-ikan lainnya. Jadi apa yang ”diwariskan”dalam satu lingkungan tidak ”diwarisi” dalam lingkungan lainnya. Lingkungan membuat berbedanya ujud disposisi keturunan.
Dari bukti semacam ini, ternyata bahwa keturunan dan lingkungan merupakan kekuatan-kekuatan yang saling tergantung, interdependent. Dalam beberapa situasi pengaruh keturunanlah yang sangat menonjol, sedangkan dalam situasi-situasi lain lingkunganlah yang memegang peranan.
Menurut hasil penelitian, ukuran, bentuk dan ujud alat-alat indera kita sebagian besar ditentukan oeh faktor keturunan. Ukuran dan bentuk hidung mengikuti pola orang tua dan merupakan ciri khas suku bangsa. Warna kulit dan tampang tubuh menuruti garis keturunan orang tua. Ukuran mulut, bentuk bibir, susuna gigi dan bentuk rahang merupakan ciri-ciri khas keluarga. Demikan pula ukuran telinga, tebal tipisnya dan ukuran lubangnya mengikuti pola-pola keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
Suryabrata, Sumadi. Psikologi kepribadian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1998.
Calvin S. Hall. and Gardner Lindzey. Teori-teori psikodinamik (klinis). Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Pembelajaran Berdasarkan Transformatif


Konsep Dasar Pembelajaran Transformatif
Transformasi pada dasarnya adalah sebuah proses perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau pendidikan yang transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang menghasilkan perubahan mendasar pada diri peserta didik. Jadi pembelajaran yang tidak memberikan dampak perubahan mendasar pada diri peserta didik bukanlah sebuah pembelajaran transformatif.Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa transformasi berarti (a) merubah bentuk, penampilan atau struktur; (b) mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik; bahkan (c) mengganti substansi. Dengan demikian semua transformasi adalah perubahan, tetapi tidak semua perubahan adalah transformasi. Perubahan lebih bersifat superfisial, sedangkan transformasi lebih bersifat substansial.Transformasi memang pada dasarnya adalah sebuah proses atau peristiwa perubahan diri, sehingga yang paling menentukan adalah diri sendiri, diri orang yang bersangkutan, bukan orang lain. Karena itu perubahan diri merupakan inti dari proses transformative learning. Heteroginitas karakteristik peserta didik PLS merupakan salah satu ciri utama yang membedakan PLS dari pendidikan persekolahan. Heteroginitas peserta didik terda-pat baik di antara program yang satu dan program yang lain maupun di dalam setiap program itu sendiri. Dengan beragamnya jenis pendidikan luar sekolah sebagaimana tercermin pada pengkategorian PLS menjadi program-program developmental, institu-tional, dan informational (Boyle, 1981), maka heteroginitas peserta didik tersebut semakin nyata. Pada program Keaksaraan Fungsional misalnya, latar belakang kehidupan peserta didiknya (usia, tingkat ekonomi, jenis pekerjaan, status perkawinan, pengalaman hidup, masalah keluarga, kepribadian, kondisi fisik, dan lain-lain) berbeda-beda. Apalagi perbedaan karakteristik peserta didik antara program yang satu dan program-program yang lain, seperti antara program Keaksaraan Fungsional dan program-program Keseta-raan, Life Skills, PAUD, Homeschooling, Pemberdayaan Wanita, dan Pemberdayaan Masyarakat.

Visi
Pendidikan transformative memiliki visi nengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.sebagaiman masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris dengan etika ,estetika,dan kepribadian agraris yg belum sepenuhnya familiar dengan ilmu pengentahuan dan teknologi beserta perkembangannya.

Rencana strategis Departemen Pendidikan nasional 2004 mempunyai tujuan untuk pendidikan transfomatif yaitu melahirkan insan cerdas komprehensif dan kompetitif.
Cerdas komprehensif:
Cerdas spiritual(olah hati):beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan ,ketakwaan,dan aklhak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.
Cerdas emosional(olah rasa):untuk nmeningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni budaya serta kompetensi untuk mengekpresikannya.
Cerdas sosial:membina  dan memupuk hubungan timbale balik,demokratis,empatik dan simpatik,menjujung tinggi HAM,ceria dan percaya diri,menghargai kebhinaekaan dalam bermasyarakat dan bernegara serta berwawasan kebangsaan dengan kesadaran hak dan kewajiban warga Negara.
Cerdas intelektual(olah pikir):untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,aktualisasi insane intelektual yang kritis,kreatif dan imajinatif.
Cerdas kinestetis(olah raga):melalui olah raga untuk mewujudkan insan yg sehat,bugar,berdaya tahan,sigap.terampil,dan aktualisasi insane adiraga.

Cerdas kompetitif:
-berkepribadian unggul
-bersemangat juang tinggi
-mandiri
-pantang menyerah
-pembangun dan Pembina jejaring
-bersahabat dengan perubahan
-inovatif dan menjadi agen perubahan
-produktif
-sadar mutu
-berorientasi global
-pembelajar sepanjang hayat


Untuk mewujudkan manusia yang cerdas komprehensif dan kompetitif tidaklah mudah karena:
Keterbatasan:secara internal Indonesia masih memiliki banyak keterbatasan dalam penyelengaraan pendidikan yang unggul dalam hal:
Man(manusia):sumber daya manusia pengelola pendidikan yang kualitasnya masih belum memuaskan.
Money(uang):keuangan yang masih terbatas dan belum dapat memenuhi kebutuhan penyelengaraan pendidikan yang unggul dan bermutu.
Method(metode):metode pendidikan yang belum beragam dan kurang kreatif sehingga proses pendidikan kurang efektif.
Machines(alat):peralatan pendukung pendidikan yang masih terbatas sehingga hanya menggunakan apa yang ada.
Material(input):siswa yang menjadi input  pendidikan juga memiliki banyak keterbatasan karena kondisi pribadi,keluarga dan masyarakat yang banyak problematika.
Tantangan:secara eksternal Indonesia juga menghadapi tantangan dunia dan era global yang merugikan (selain peluang yang menguntungkan)
Ketidaksesuaian:terjadi krisis keteladanan dengan adanya paradox antara teori dengan praktek antara idealitas dengan realita kehidupan yang sangat mengganggu proses pendidikan.
Pendidikan keluarga:orang tua belum dapat menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari dan hanya menuntut dan meminta anak-anaknya berbuat tanpa member teladan.
Pendidikan masyarakat:kehidupan masyarakat juga berbeda dengan nilai-nilai yang d ajarkan di sekolah.
Keterpaduan manusia seutuhnya:proses pendidikan yang memandang manusia secara utuh yaitu spiritual,emosional,sosial,intelektual,kinestesis.
Keterpaduan pengelolaan:proses pengelolaan yang tuntas mulai dari perencanaan(plan),pelaksanaan(action),monitoring dan evaluasi(check) dan perbaikan(improve) program secara terus menerus terjadi peningkatan mutu pendidikan.
Keterpaduan sumber daya:pengelolaan sumber daya pendidikan meliputi man(manusia),money(uang),method(metode),machines(alat),material(input),yang unggul,cukup,tepat,efisien,dan saling mendukung dalam proses pendidikan.
Keterpaduan partisipasi:antara pemerintah dan masyarakat terjadi sinergi dan saling menjalankan peran dengan sebaik2nya sehingga pelaksanaan pendidikan dalam proses dan pembiayaan dapat efektif dan efisien.
Keterpaduan proses:antara pendidikan d sekolah,rumah dan masyarakat terjadi keterpaduan sinergi sehingga apa yang diajarkan disekolah dikuatkan dirumah dan didukung oleh masyarakat.
Keterpaduan antara teory dan praktek:adanya keteladanan dari para pendidik,sehingga nilai-nilai yang diajarkan dapat terlihatwujudnya dalam kehidupan sehingga membekas dan membentuk karakter.
Keterpaduan nasional,regional,global:adanya kerjasama terpadu antara seluruh komponen bangsa(nasional).kemudian dalam lingkup regional seperti asia tenggara terjalin kerja sama untuk kemajuan pendidikan dan kerja sama global untuk kemajuan manusia yang semakin adil,aman,sejahtera,dan bahagia.


Strategi Pembelajaran Transformatif
Dari penjelasan tentang konsep dasar transformasi dan pembelajaran transformatif di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran transformatif telah menjadi sebuah strategi pembelajaran tersendiri. Di dalamnya tedapat kandungan potensi yang luar biasa. Apabila potensi tersebut dapat diaplikasikan kedalam setiap kegiatan pendidikan luar sekolah, maka dapat diharapkan bahwa semua kegiatan pendidikan luar sekolah merupakan  kegiatan pendidikan yang sangat menjanjikan. Sebagaimana telah mulai diakui, pembelajaran transformatif merupakan sebuah strategi pembelajaran yang sesuai untuk pendidikan orang dewasa.
Dewasa ini telah berkembang beberapa perspektif teori belajar transformasional, di antaranya adalah transformasi rasional atau transformasi personal oleh Mezirow, transformasi pendidikan atau transformasi individu oleh Boyd, dan transformasi sosial atau transformasi emansipatori oleh Freire (Taylor, 1998). Menurut transformasi rasional, proses belajar transformatif adalah proses pembangunan makna baru terhadap pengalaman diri sendiri berdasarkan interpretasi sebelumnya guna memandu tindakan –tindakan yang akan datang. Teori ini menjelaskan bagaimana harapan, kerangka asumsi budaya, dan anggapan-anggapan seseorang mempengaruhi makna yang diperoleh dari pengalaman barunya. Kegiatan belajar dilakukan melalui dua ranah, yaitu instrumental dan komunikatif. Belajar instrumental difokuskan pada proses pemecahan masalah, sedangkan belajar komunikatif ditekankan pada pemahaman substansi yang terkandung di dalam pembicaraan orang lain, misalnya tentang nilai, cita-cita, perasaan, keputusan moral, dan konsep-konsep kebebasan, keadilan, kasih sayang, buruh, otonomi, komitmen dan demokrasi.Selanjutnya transformasi pendidikan atau transformasi individu berakar dari psikologi analisis yang mengartikan transformasi sebagai perubahan mendasar di dalam pribadi seseorang sebagai akibat dari pengintegrasian dilemma pribadi dan perluasan kesadaran diri. Diyakini bahwa hanya melalui transformasi perubahan diri yang signifikan bisa terjadi. Tujuan utama transformasi adalah membebaskan diri individu dari pola-pola kehendak dan norma budaya yang menghambat potensi aktualisasi diri. Jadi jika Mezirow menfokuskan diri pada konflik kognitif yang dialami seseorang dalam hubungannya dengan budaya dan menempatkan ego sebagai pemain utama dalam pencapaian transformasi, maka Boyd menfokuskan diri pada upaya mengatasi konflik di dalam internal diri individu untuk mencapai keharmonisan karena diri (self) merupakan bagian sentral dan integral dari totalitas kepribadian.
Terakhir, transformasi emansipatori diartikan sebagai proses pembebasan kehidupan dari unsur-unsur pembelenggu, sebuah proses yang berkelanjutan, tiada henti dan sekaligus dinamis. Freire menekankan transformasi sosial melalui penggugahan kesadaran kritis (conscientization) masyarakat dan menempatkan proses pendidikan sebagai sarana yang tepat untuk keperluan tersebut. Karena itu refleksi kritis dipandang sebagai kata kunci transformasi. Semakin kritis peserta didik, semakin mampu yang bersangkutan mengubah kenyataan hidupnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik bertanya Sokratik (Jarvis, 1984). Teknik ini dilaksanakan dengan cara mengarahkan atau mengajukan sejumlah pertanyaan yang urut dan logis kepada peserta didik hingga mereka terdorong untuk merespon dan mengekspresikan pengeta-huan yang telah dimilikinya, yang belum pernah terkristalisasi oleh pemikirannya sendiri.substansi yang paling esensial untuk pembelajaran orang dewasa yang transformatif adalah feeling, thinking, watching, dan doing. Pertama-tama, dua aspek (watching dan doing) dihubungkan dengan garis kontinum “grasping experience” untuk terjadinya proses perolehan pengalaman, kemudian dua aspek lainnya (feeling dan thinking) dihubungkan dengan garis kontinum “transfoming experience” guna menterjadikan proses transformasi pengalaman. keempat aspek tersebut di atas dikaitkan dengan 4 tahap siklus belajar yang terdiri atas “concrete experience“, “abstract experience“, “reflective observation” dan “active experimentation“. Hal ini melahirkan serangkaian pemahaman bahwa feeling membuahkan “concrete experience“, thinking membuahkan “abstract experience“, watching membuahkan “reflective observation” dan doing membuahkan “active experimentation“. Selanjutnya dinamika interaksi keempat aspek dan keempat tahap siklus belajar tersebut melahirkan empat perpaduan aktivitas, yaitu diverging (feel & watch), assimilating (think & watch), converging (think & do), dan accomodating (feel & do). Terakhir, keempat paduan dan keempat tahap siklus belajar tadi dihubungkan oleh garis kontinum processing dan perception.
Berdasarkan pemikiran semacam ini, Cranton (2003) merekomendasikan beberapa strategi yang dapat digunakan, 7 di antaranya adalah sebagai berikut.
1.  An activating event that typically exposes a discrepancy between what  a person has always assumed to be true and what has just been experienced, heard, or read. Menunjukkan sejumlah peristiwa yang sama sekali berbeda dari apa yang selama ini diyakini, dialami, didengar, atau dibaca seseorang yang bersangkutan.
2. Articulating assumptions, that is, recognizing underlying assumptions that have been uncritically assimilated and are largely unconscious.
Mengungkap makna yang sesungguhnya dari anggapan-anggapan yang selama ini diikuti orang secara begitu saja atau yang umumnya tak disadari orang.
3. Critical self-reflection, questioning and examining assumptions in terms of where they came from, the consequences of holding them, and why they are important.
Melakukan perenungan secara kritis dalam arti mempertanyakan atau menguji kebenaran asumsi-asumsi yang ada berkenaan dengan dari mana asal asumsi itu, apa sebetulnya akibat yang bakal terjadi jika mengikutinya, dan mengapa asumsi itu dipandang begitu penting.
4. Being open to alternative viewpoints.
Bersikap terbuka atau membuka diri terhadap pandangan lain yang berbeda,
5. Engaging in discourse, where evidence is weighed, arguments assessed, alterna-tive perspectives explored, and knowledge constructed by consensus.
Melibatkan seseorang pada pembicaraan-pembicaraan yang berbukti, alasan-alasan yang teruji, pandangan-pandangan alternatif yang tertelusuri, dan pengetahuan-pengetahuan yang disepakati.
6. Revising assumptions and perspectives to make them more open and better justified.
Melakukan perubahan dengan sengaja asumsi-asumsi atau pandangan-pandangan yang telah dimiliki seseorang atau masyarakat sehingga sikap mereka menjadi lebih terbuka dan lebih bijak.
7. Acting on revisions, behaving, talking, and thinking in a way that is congruent with transformed assumptions or perspectives
Betul-betul melakukan tindakan perbaikan, atau bertindak, berbicara, dan berfikir yang betul-betul sejalan dengan asumsi-asumsi atau pandangan-pandangan yang telah ditransformasi.

Referensi
DEPDIKNAS 2003 Standart komoetensi bahan kajian;pelayanan professional kurikulum berbasis kompetensi.jakarta:puskur balitbang.
DEPDIKNAS 2003. Kegiatan belajar mengajar yang efektif; Pelayanan Profesional Kurikillum Berbasis Kompetensi.jakarta Puskur Balitbang.
            2003 kurikulum berbasis kompetensi pelayanan professional kurikullum berbasis kompetensi Jakarta puskur balitbang.
            2003 .model pelatihan dan pengembangan silabus ;pelayanan profesional kurikulum berbasis kompetensi .jakarta .puskur balitbang.
http://berkarya.um.ac.id/2010/02/konsep-dan-strategi-pembelajaran-transformasi-untuk-pls-oleh-m-djauzi-moedzakir-ketua-jurusan-pls-fip-um/konsep dan strategi pembelajaran transformasi untuk PLS Oleh M.Djauzi Moedzakir(ketua jurusan PLS FIP UM)