Selasa, 18 September 2012

Pendidikan Berbasis Budaya Lokal dan Multikultural Dalam Upaya Membentuk Karakter Bangsa



Pendidikan karakter yang dicanangkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan dirasa sebagai suatu gebrakan yang baik. Berangkat dari semakin menurunnya etika dan moral para pelajar ataupun lulusan pendidikan formal menjadi dasar untuk diberlakukannya pendidikan karakter. Memang saat ini apabila kita melihat kondisi para pelajar di Indonesia mayoritas kurang memiliki karakter sebagai bangsa Indonesia. Indonesia memiliki ratusan suku, adat, ras, seni, bahasa, dan budaya. Dengan berstatus senagai negara kepulauan, memiliki wilayah yang luas dan memiliki penduduk yang berjumlah besar memang dirasa sulit untuk mewujudkan insan-insan bangsa Indonesia yang berkarakter. Akan tetapi, apabila kita mampu melihat situasi dengan baik dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat, kita sebenarnya mampu membangun insan pendidikan Indonesia yang cerdas dan berkarakter.
Namun faktanya, untuk mewujudkan generasi Indonesia yang berkarakter rasanya masih mengalami kesulitan. Berbagai macam upaya yang dilakukan oleh pendidik ataupun lembaga pendidikan masih belum bisa berjalan sesuai harapan. Masih banyak kita jumpai para pelajar yang membolos sekolah, tawuran, kebut-kebutan di jalan, melakukan tindak kriminal, dan sebagainya. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pelajar tersebut karena banyak faktor yang membuat pelajar melakukan hal-hal yang melanggar nilai-nilai dan norma-norma. Sudah selayaknya semua pihak yang peduli terhadap generasi penerus bangsa ini terus berupaya untuk memperbaiki karakter para pelajar Indonesia.
Salah satu cara untuk mewujudkan insan pendidikan Indonesia yang berkarakter yaitu dengan menerapkan pendidikan berbasis budaya lokal dan diintegritaskan dengan pendidikan multikultural. Indonesia memiliki berbagai macam suku dan budaya yang tentunya memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut merupakan hal yang wajar mengingat nilai-nilai budaya yang ditanamkan oleh nenek moyang dari masing-masing daerah berbeda-beda. Dengan tetap menjaga nilai budaya dari leluhur, maka insan pelajar Indonesia akan tetap memiliki karakter sesuai dengan budaya yang terdapat di lingkungannya.
Pendidikan berbasis budaya lokal merupakan upaya untuk mengintegrasikan budaya lokal dalam proses pendidikan yang mana proses pendidikan tidak hanya fokus terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi melainkan juga dengan mempelajari budaya lokal. Setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda. Keunggulan dari potensi daerah itu sangatlah beragam. Dengan kebergaman potensi daerah ini pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu diperhatikan sehingga pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa tidak asing dengan daerahnya sendiri dan memahami potensi dan nilai-nilai serta budaya daerahnya sendiri.
Pelajaran Seni Budaya yang diterapkan dalam kurikulum pendidikan formal sebenarnya merupakan langkah yang baik untuk menanamkan kebudayaan lokal. Akan tetapi, apresiasi terhadap pelajaran ini hanya sekedar menggambar, menyanyi, melukis, atau yang lainnya. Apabila pelajaran Seni Budaya ini lebih ditekankan untuk mempelajari budaya-budaya lokal maka akan lebih efektif untuk membentuk karakter pelajar itu sendiri. Dengan mengajak pelajar untuk berinteraksi langsung dengan orang-orang yang bergerak di bidang seni budaya itu sendiri rasanya akan lebih efektif. Sebagai contoh mengajak pelajar untuk belajar kesenian wayang dengan dalang dari wayang itu sendiri. Dengan belajar secara langsung pelajar tidak hanya sekedar tahu tentang wayang, tetapi juga bisa mempelajari sejarah wayang, tokoh-tokoh wayang, filosofi cerita pewayangan, makna dari cerita wayang, atau bahkan bisa belajar menjadi dalang.
Untuk membenahi kurikulum pendidikan khususnya pelajaran Seni Budaya bisa dilakukan melalui dua alternatif. Alternatif pertama dengan memuat mata pelajaran budaya lokal seperti  pelajaran budaya jawa, budaya sunda, budaya betawi, budaya bali, budaya sasak, budaya melayu dan lainnya. Sedangkan, alternatif kedua adalah dengan mengintegrasikan muatan budaya lokal dalam pelajaran-pelajaran yang telah ada atau disebut sebagai pembelajaran berbasis budaya.
Muatan lokal saat ini memang sudah diterapkan di dalam kurikulum pendidikan seperti bahasa daerah. Namun pada praktiknya bahasa daerah hanya sebatas pelajaran pelengkap dengan mengedepankan aspek linguistik saja. Ada hal yang perlu diingat bahwasanya pelajaran bahasa daerah bisa kita implementasikan dengan mempelajari keseluruhan dari budaya daerah yang mencakup filosofi, nilai-nilai, pembelajaran moral, sopan santun, tradisi, adat istiadat, dan lainnya. Selain itu sebaiknya pembelajaran tidak hanya mengedepankan aspek kognitif saja, akan tetapi dengan menanamkan sikap dan berperilaku sesuai dengan kebudayaan lokal sehingga terbentuklah pelajar yang berkarakter sesuai dengan budaya lokal.
          Pendidikan multikultural merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap saling menghargai dan menghormati sesamanya. Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian, output yang diharapkan adalah peserta didik mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi dimana peserta didik lebih berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah peserta didik yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
          Mengintegrasikan antara pendidikan denga budaya lokal merupakan hal yang harus dilakukan dalam menghadapi globalisasi budaya guna melahirkan generasi berbudaya dan juga tentunya generasi yang integratif. Untuk melakukannya harus menyentuh pada dua aspek utama. Aspek pertama ialah pendidikan yang mendorong manusia untuk menghargai dan mengenakan atribut budaya lokal dengan menerapkan pendidikan berbasis budaya lokal. Sedangkan untuk aspek kedua ialah pendidikan yang tidak hanya mengapresiasi budaya lokal daerahnya sendiri tetapi juga budaya daerah lain dengan memberikan pendidikan multikultural. Penerapan kedua aspek ini dapat dilakukan secara bersamaan sehingga melahirkan generasi Indonesia yang berkarakter, berbudaya dan integratif.

Senin, 30 Januari 2012

Bahasa Indonesia Yang Gaul


Bahasa tidak bisa terpisahkan dari kehidupan. Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa itu merupakan alat yang sangat tidak memadai untuk berfikir dengan tertib dan untuk melahirkan pendapat (C.P.F.Lecoutere, L. Grootaers).  Untuk berkomunikasi dengan orang lain kita membutuhkan bahasa yang bisa membuat kita saling mengerti dan memahami apa yang kita sampaikan dengan orang lain. Dari masa ke masa memang bahasa terus berubah dan mengalami perkembangan. Hal ini dirasa wajar karena kehidupan manusia itu dinamis, selalu mengalami perkembangan.
Bahasa Indonesia yang selalu kita gunakan pun juga terus berubah. Fenomena munculnya bahasa gaul yang biasa dibilang alay semakin menggema. Dewasa ini, penggunaan bahasa Indonesia kian tergeser oleh bahasa gaul, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di dunia media. Anak muda sekarang cenderung menggandrungi bahasa ini, namun ada juga yang tidak suka. Fenomena ini senantiasa bisa salah kaprah atau bahkan bisa merusak.
Keberadaan bahasa alay dianggap kaum muda sebagai alat komunikasi yang gaul dalam pergaulan sehari-hari. Baik secara lisan maupun tulisan, bahasa ini dianggap sebagai media untuk berekspresi. Namun, tanpa disadari, semakin lama bahasa alay bisa mengancam eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan karena semakin jauh berbeda dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seharusnya kaum muda bisa menempatkan dirinya dan mengikuti kaidah-kaidah Bahasa Indonesia, karena bahasa menunjukkan jati diri dan karakter seseorang dan juga bangsa.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah akan dibawa kemana bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa persatuan kita ini? Apakah kita akan terus terlarut dalam penggunaan bahasa asing, bahasa alay dan bahasa gaul yang kian meruntuhkan integritas bahasa Indonesia itu sendiri? Jawabannya ada pada diri kita sebagai bangsa yang mencintai bangsanya dan bahasanya.
Di satu sisi, pengucapan bahasa merupakan hak dari penuturnya. Terserah penutur ingin menggunakan bahasa apa saja. Akan tetapi bahasa itu seperti halnya dengan manusia. Bahasa bisa hidup dan juga bisa mati. Apakah kita akan membiarkan bahasa Indonesia itu mati?  Sebagaimana dengan hakikat bahasa itu sendiri, bahasa itu bersifat dinamis. Bahasa akan terus berkembang, baik secara kontak sosial langsung maupun tidak langsung. Bahasa Indonesia pun juga demikian. Keterbukaan dirasa perlu agar bahasa Indonesia menjadi bahasa yang berkualitas, artinya bahasa Indonesia tidak hanya menjadi bahasa komunikasi semata, tetapi juga sebagai bahasa pendidikan.
Di sisi lain, munculnya berbagai macam bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia tidak semuanya berdampak buruk terhadap bahasa Indonesia. Munculnya beragam jenis bahasa asing juga bisa memperkaya bahasa Indonesia itu sendiri. Akan tetapi, perlu adanya kontrol agar penggunaan istilah asing tersebut proporsional. Di sinilah peran Badan Penelitian Pengembangan dan Pembinaan Bahasa diperlukan untuk menyaring istilah bahasa asing yang masuk ke dalam Bahasa Indonesia dan melakukan kontrol terhadap penggunaan bahasa itu sendiri.
Bahasa alay yang semakin sering digunakan oleh kaum muda Indonesia saat ini hanya punya syarat mengancam dan merusak bahasa Indonesia apabila digunakan pada media yang tidak pada tempatnya. Sebaliknya, jika bahasa alay hanya digunakan sebagai bahasa pergaulan, atau digunakan di media-media baru yang memilih cara interaksi yang baru seperti situs jejaring sosial Facebook ataupun Twitter, maka bahasa “alay” tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Biarkan bahasa-bahasa gaul tersebut berinteraksi pada tempatnya. Dengan keberadaan bahasa gaul akan dapat memperkaya kajian para ahli linguistik. Kita tidak perlu gelisah secara berlebihan terhadap fenomena menjamurnya bahasa “alay” atau bahasa gaul di kalangan kaum muda masa kini. Bahasa “alay” tidak akan merusak bahasa Indonesia. Dengan munculnya beragam bahasa alay dan bahasa gaul, maka eksistensi Bahasa Indonesia justru akan teruji dan berkembang sesuai zamannya, dengan adanya berbagai variasi bahasa di sekitarnya. Sudah selayaknya kita menjadikan Bahasa Indonesia untuk berbicara satu sama lain dalam kehidupan kita sehari-hari karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan kita. Selain itu, bahasa merupakan cermin jati diri dan karakter suatu bangsa.

Minggu, 29 Januari 2012

Teori Kerjasama dan Persaingan Kelompok


Perbedaan kerjasama dan persaingan sesungguh nya  terletak pada sifat wilayah-wilayah tujuan pada kedua situasi tersebut. Dalam situasi kerjasama, wilayah yang menjadi tujuan dari seorang anggota kelompok atau sub kelompok hanya dapat dimasuki oleh individu atau oleh sub-sub kelompok yang bersangkutan jika individu-individu lain atau sub kelompok lain juga bisa memasuki wilayah tujuan itu. Kemudian terdapat Teori yang  dikembangkan oleh Deutsch (1949) dan didasarkan pada Teori Lapangan dari Kurt Lewin. Pusat perhatian teori ini adalah pengaruh dan kerja sama (cooperation) dan persaingan (competition) dalam kelompok kecil.

A.    Konsep teori kerjasama dan persaingan
Teori ini dikembangkan oleh Deutsch (1949) dan didasarkan pada Teori Lapangan dari Kurt Lewin. Pusat perhatian teori ini adalah pengaruh dan kerja sama (cooperation) dan persaingan (competition) dalam kelompok kecil. Perbedaan antara kerja sama dan persaingan menurut Deutsch ter­letak pada sifat wilayah-wilayah tujuan pada kedua situasi tersebut. Dalam situasi kerja sama, wilayah yang menjadi tujuan dari seorang anggota kelompok atau subkelompok hanya dapat dimasuki oleh individu atau oleh sub-sub kelompok yang bersangkutan jika individu-individu lain atau subkelompok lain juga bisa memasuki wilayah tujuan itu. Wilayah­ wilayah tujuan dari anggota-anggota kelompok itu dikatakan sebagai saling menunjang (promotively interdependent goals).
Dalam situasi persaingan, kalau seorang individu atau suatu sub­kelompok sudah memasuki wilayah tujuan, maka individu-individu atau sub-subkelompok yang lain tidak akan bisa mencapai wilayah tujuan mereka masing-masing. Hubungan antara wilayah-wilayah tujuan ang­gota-anggota kelompok dinamakan saling menghambat (contriently interdependent goals). Dengan demikian, orang-orang dalam situasi di mana wilayah-wilayah tujuannya saling menunjang akan berlokomosi bersama-sama ke arah wilayah tujuan termaksud, sedangkan orang-orang dalam situasi yang wilayah tujuannya saling menghambat akan berlokomosi sedemikian rupa sehingga orang lain dalam kelompoknya tidak mencapai wilayah tujuan masing-masing.

B.     Hipotesis – hipotesis dari konsep teori kerjasama dan persaingan
              Berdasarkan definisi dan dampak kerja sama dan persaingan ter­sebut di atas, Deutsch membuat sejumlah hipotesis sebagai berikut:
1)      Individu-individu dalam situasi kerja sama akan melihat diri mereka sendiri saling mendukung clan individu-individu dalam situasi per­saingan akan melihat diri mereka sendiri saling menghambat.

2)      Tindakan substitusi lebih banyak terjadi dalam situasi kerja sama daripada situasi persaingan (substitusi berarti tindakan seseorang dapat digantikan oleh tindakan orang lain; tidak perlu dua orang melakukan tindakan yang sama).

3)      Lebih banyak tindakan yang dipandang positif (menyenangkan) oleh anggota-anggota lain dalam kelompok kerja sama daripada dalam kelompok persaingan.
3a) Lebih banyak tindakan yang dipandang negatif (tidak menye­   nangkan) oleh anggota-anggota lain dalam kelompok persa­ingan daripada dalam kelompok kerja sama.

4)      Dalam kelompok kerja sama lebih banyak daya pada diri anggota kelompok yang diproduksi dan disalurkan ke arah yang sesuai dengan arah yang dimaksud oleh pihak pengarah (inducer) daripada dalam kelompok persaingan.
4a) Dalam diri masing-masing anggota kelompok kerja sama lebih banyak terdapat konflik daripada dalam diri anggota-anggota kelompok persaingan.

5)      Anggota kelompok kerja sama akan lebih banyak saling menolong daripada anggota kelompok persaingan.
5a)Anggota kelompok persaingan akan lebih banyak saling meng­hambat daripada anggota kelompok kerja sama.

6)   Dalam satu waktu tertentu lebih banyak aktivitas yang saling ber­kaitan (bekerja bersama-sama) antara angggta - ke[ompok kerja sama daripada anggota kelompok persaingan.
6a) Dalam suatu angka waktu, lebih sering terjadi koordinasi usaha dalam situasi kerja sama daripada situasi persaingan.

7)      Homogenitas dalam artian sumbangan atau partisipasi lebih besar dalam situasi kerja sama daripada situasi persaingan.
8)      Spesialisasi dari tugas dalam situasi kerja sama lebih besar daripada situasi persaingan.
9)      Spesialisasi dari aktivitas dalam situasi kerja sama lebih besar dari­pada situasi persaingan.
10)  Struktur tugas dalam situasi kerja sama lebih stabil daripada situasi persaingan.
11)  Peralihan peran dalam rangka penyesuaian terhadap perubahan lingkungan lebih dapat terjadii dalam situasi kerja sama daripada dalam situasi persaingan.
12)  Arah dari daya dalam kelompok kerja sama lebih serupa satu sama lain dari arah clan daya dalam kelompok persaingan.
13)  Tekanan untuk berprestasi lebih berat dalam kelompok kerja sama daripada kelompok persaingan.
14)   Kekuatan daya yang menuju ke arah tujuan, pada kelompok kerja sama lebih besar daripada kelompok persaingan.
15)   Jumlah keseluruhan daya yang bekerja pada individu-individu dalam situasinya masing-masing tidak berbeda antara yang berada dalam situasi kerja sama dan situasi persaingan.
16)  Kalau tugas yang diberikan dapat diukur dengan lokomosi yang dapat dilihat (abservable) tanda-tandanya, maka tanda-tanda itu akan lebih banyak terlihat pada kelompok persaingan per unit waktu daripada kelompok kerja sama.
17)  Bila lokomosi dimungkinkan tanpa menimbulkan tanda-tanda,maka tanda-tanda yang akan timbul akan lebih banyak pada ke­lompok kerja sama per unit waktu daripada kelompok persaingan.
18)  Perhatian terhadap tanda-tanda yang ditimbulkan oleh orang lainIcbih sedikit dalam kelompok persaingan daripada kelompok kerja sama.
19)  Kesulitan komunikasi lebih besar dalam kelompok persaingan daripada kelompok kerja sama.
20)  Kesulitan komunikasi lebih besar, bahkan jika saling perhatian cukup tinggi, pada kelompok persaingan daripada kelompok kerja sama.
21)  Saling setuju dan saling menerima antara orang-orang yang saling berkomunikasi dalam kelompok kerja sama lebih terjadi daripada kelompok persaingan.
22)  Anggota kelompok kerja sama akan lebih tahu tentang aktivitas dalam kelompoknya daripada anggota kelompok persaingan.
23)  Orientasi pada kelompok lebih besar dalam kelompok kerja sama daripada kelompok persaingan.
24)  Produktivitas per unit waktu lebih besar pada kelompok kerja sama daripada kelompok persaingan.
24a) Waktu yang dibutuhkan oleh kelompok kerja sama untukmenghasilkan suatu jumlah produksi tertentu lebih singkatdaripada waktu yang dibutuhkan oleh kelompok persainganuntuk memproduksi jumlah yang sama.
25)  Kualitas hasil produksi dari kelompok kerja sama lebih tinggi dari­pada kelompok persaingan.
26)  Anggota-anggota kelompok kerja sama lebih banyak saling belajar antarmereka daripada anggota-anggota kelompok persaingan.
27)  Suasana bersahabat lebih besar dalam kelompok kerja sama dari­pada kelompok persaingan.
28)  Anggota kelompok kerja sama menilai hasil kerja kelompoknya lebih tinggi daripada penilaian anggota-anggota kelompok per saingan terhadap hash kelompok mereka.
29)  Tugas bersama dalam kelompok kerja sama lebih besar pPrsent<i­senya daripada kelompok persatngan.
30)  Tugas perorangan lebih besar persentasenya dalam kelompok persaingan daripada kelompok kerja sama.
31)  Pandangan seseorang terhadap sikap orang lain pada dirinya akan lebih realistis dalam kelompok kerja sama daripada kelompok persaingan.
32)  Sikap seseorang terhadap tugasnya sendiri dalam kelompok kerj;i sama lebih mirip dengan sikap orang-orang lain terhadap tugasny;i itu daripada dalam kelompok persaingan.
33)  Anggota kelompok kerja sama lebih banyak melihat dirinya sendiri sebagai suatu yang menguntungkan buat orang lain daripada jika is adalah anggota kelompok persaingan.
34)  Peleburan diri (incorporation) dengan sikap dari orang-orang lain pada umumnya (attitude of generalized others) lebih Bering terjacli dalam kelompok kerja sama daripada dalam kelompok persaingan.
Daftar Pustaka

Sarlito Wirawan Sarwono.2005. teori-teori psikologi social.jakarta:PT Raja Grafindo Persada
http://debluesearching.blogspot.com/2010/08/sosial-teori-medan.html

Teori Kebutuhan Dan Teori Motivasi


 

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow (Abraham Maslow)

Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi.
Kebutuhan maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.
Lima (5) kebutuhan dasar Maslow - disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial :
1. Kebutuhan Fisiologis
Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.
3. Kebutuhan Sosial
Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
4. Kebutuhan Penghargaan
Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya

Karya Maslow

Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Kebutuhan fisiologis/ dasar
  2. Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
  3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
  4. Kebutuhan untuk dihargai
  5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri


Model Kebutuhan Berbasis Motivasi McClelland
David McClelland (Robbins, 2001 : 173) dalam teorinya Mc.Clelland’s Achievment Motivation Theory atau teori motivasi prestasi McClelland juga digunakan untuk mendukung hipotesa yang akan dikemukakan dalam penelitian ini. Dalam teorinya McClelland mengemukakan bahwa individu mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi serta peluang yang tersedia.
Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan akan prestasi (achiefment), kebutuhan kekuasaan (power), dan kebutuhan afiliasi.
Model motivasi ini ditemukan diberbagai lini organisasi, baik staf maupun manajer. Beberapa karyawan memiliki karakter yang merupakan perpaduan dari model motivasi tersebut.
A. Kebutuhan akan prestasi (n-ACH)
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri inidividu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.
n-ACH adalah motivasi untuk berprestasi , karena itu karyawan akan berusaha mencapai prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut.
B. Kebutuhan akan kekuasaan (n-pow)
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan.
n-pow adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi.
C. Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat (n-affil)
Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
McClelland mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi.
Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala Mcclelland:
a). Pencapaian adalah lebih penting daripada materi.
b). Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi
yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan.
c). Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran sukses
(umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan faktual).


Teori Motivasi
Motivasi dapat diartikan sebagai faktor pendorong yang berasal dalam diri manusia, yang akan mempengaruhi cara bertindak seseorang. Dengan demikian, motivasi kerja akan berpengaruh terhadap performansi pekerja.
Menurut Hilgard dan Atkinson, tidaklah mudah untuk menjelaskan motifasi sebab :
1. Pernyataan motif antar orang adalah tidak sama, budaya yang berbeda  akan menghasilkan ekspresi motif yang berbeda pula.
2. Motif yang tidak sama dapat diwujudkan dalam berbagai prilaku yang tidak sama.
3. Motif yang tidak sama dapat diekspresikan melalui prilaku yang sama.
4. Motif dapat muncul dalam bentuk-bentuk prilaku yang sulit dijelaskan
5. Suatu ekspresi prilaku dapat muncul sebagai perwujudan dari berbagai motif.

Motif Pendorong Perilaku Manusia Menurut Malvin.
  • Motif Kekuasaan
Merupakan kebutuhan manusia untuk memanipulasi manusia lain melalui keunggulan-keunggulan yang dimilikinya. Malvin menyimpulkan bahwa motif kekuasaan dapat berfifat negatif atau positif. Motif kekuasaan yang bersifat negatif berkaitan dengan kekuasaan seseorang. Sedangkan motif kekuasaan yang bersifat positif berkaitan dengan kekuasaan social (power yang dipergunakan untuk berpartisipasi dalam mencapai tujuan kelompok).
  • Motif Berprestasi
Merupakan keinginan atau kehendak untuk menyelesaikan suatu tugas secara sempurna, atau sukses didalam situasi persaingan. Menurut dia, setiap orang mempunyai kadar n Ach (needs for achievement) yang berlainan. Karakteristik seseorang yang mempunyai kadar n Ach yang tinggi (high achiever) adalah :
1. Risiko moderat (Moderate Risks) adalah memilih suatu resiko secara moderat
2. Umpan balik segera (Immediate Feedback) adalah cenderung memilih tugas
yang segera dapat memberikan umpan balik mengenai kemajuan yang telah dicapai dalam mewujudkan tujuan, cenderung memilih tugas-tugas yang mempunyai criteria performansi yang spesifik.
3. Kesempurnaan (accomplishment) adalah senang dalam pekerjaan yang dapat
memberikan kepuasaan pada dirinya.
4. Pemilihan tugas adalah menyelesaikan pekerjaan yang telah di pilih secara tuntas
dengan usaha maiksimum sesuai dengan kemampuannya.

  • Motif Untuk Bergabung
Motif untuk bergabung dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk berada bersama orang lain. Kesimpulan ini diperoleh dari studinya yang mempelajari hubungan antara rasa takut dengan kebutuhan berafiliansi.

  • Motif Keamanan (Security Motive)
Merupakan kebutuhan untuk melindungi diri dari hambatan atau gangguan yang akan mengancam keberadaannya. Di dalam sebuah perusahaan misalnya, salah satu cara untuk menjaga agar para karyawan merasa aman di hari tuanya kelak, adalah dengan memberikan jaminan hari tua, pesangon, asuransi, dan sebagainya

  • Motif Status (Status Motive)
Merupakan kebutuhan manusia untuk mencapai atau menduduki tingkatan tertentu di dalam sebuah kelompok, organisasi atau masyarakat. Parsons, seorang ahli sosiologi menyimpulkan adanya beberapa sumber status seseorang yaitu :
1. Keanggotaan di dalam sebuah keluarga. Misalnya, seorang anggota keluarga yang memperoleh status yang tinggi oleh karena keluarga tersebut mempunyai status yang tinggi di lingkungannya.
2. kualitas perseorangan yang termasuk dalam kualitas perseorangan antara lain
karakteristik fisik, usia, jenis kelamin, kepribadian.
3. Prestasi yang dicapai oleh seseorang dapat mempengaruhi statusnya. Misalnya,
pekerja yang berpendidikan, berpengalaman, mempunyai gelar, dsb.
4. Aspek materi dapat mempengaruhi status seseorang di dalam lingkungannya.
Misalnya, jumlah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
5. Kekuasaan dan kekuatan (Autoriry and Power). Dalam suatu organisasi, individu yang memiliki kekuasaan atau kewenangan yang formal akan memperoleh status yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu-individu yang ada di bawahnya.
Selain dari teori-teori di atas, Teori Motivasi itu juga dapat dirumuskan kembali
menjadi 3 kelompok, yaitu :
A. Teori Kepuasan ( Content Theory )
B. Teori Proses ( Process Theory )
C. Teori Pengukuhan ( Reinforcement The

Teori Thomas Hobbes
Dalam menjawab pertanyaan tentang tertib sosial, Hobbes mengacu kepada Rasionalisme abad 17 yang mendasari teori terjadinya negara dan hukum atas dasar kontrak dan persetujuan rakyat. ‘Kontrak sosial’ adalah suatu fiksi, hasil teoretisasi di alam pemikiran, bahwa terbentuknya organisasi kehidupan bernegara, berikut lembaga-lembaga pemerintahannya, berasal dari kesediaan rakyat yang rasional untuk melepaskan sebagian dari hak-hak kebebasan kodratinya yang asasi, demi terselenggaranya kehidupan bersama yang tertib. Teori kontrak sosial ini mengisyaratkan adanya dasar moral pembenar bahwa kekuasaan para pejabat negara itu bukan berasal dari sumber manapun melainkan dari persetujuan rakyat. Keterikatan rakyat pada segala bentuk aturan yang ditegakkan para pejabat kekuasaan negara, dengan demikian, akan termaknakan sebagai keterikatan atas dasar kedaulatan dan persetujuan mereka sendiri. Di sini terbangunlah konsep tentang terbatasinya kebebasan kodrati rakyat oleh suatu kekuatan yang tak lain daripada kebebasan rakyat itu sendiri, ialah kebebasan mereka untuk berkontrak sosial, yang termaknakan sebagai kebebasan untuk mengurangi kebebasan (sampai batas tertentu). Hobbes justru tiba pada simpulan yang memberikan dasar pembenar pada model pemerintahan yang otokratik. Menurut Hobbes, dalam “keadaan alami sebelum terbentuknya masyarakat negara” setiap individu manusia akan berkebebasan secara tanpa batas. Dalam kehidupan natural-state itu, setiap individu manusia memiliki kebebasan untuk berbuat apapun dan/atau untuk objek apapun juga. Kebebasan tanpa batas seperti itu, wajarlah kalau akan berkonsekuensi pada terjadinya perkelahian oleh semua terhadap semua, belum omnium contra omnes, dan setiap manusia akan berlaku sebagai serigala bagi sesamanya; homo homini lupus! Maka, situasi yang tidak menguntungkan itu hanya akan dapat diatasi apabila manusia-manusia -- yang masing-masing berkebebasan dalam keadaan alami itu – bersedia membentuk suatu komunitas politik lewat suatu kontrak sosial. Lewat kontrak sosial itu, individu-individu manusia akan dapat menikmati hak-haknya sebagai warga komunitas, asal saja mereka bersedia untuk berlaku patuh pada hukum yang berhakikat sebagai hasil kesepakatan kontraktual, dan juga untuk tunduk mutlak kepada penguasa yang bertugas menegakkan hasil kesepakatan kontraktual. Karena sang penguasa ini berposisi sebagai pihak ketiga yang bukan partisipan kontrak sosial, maka sang penguasa ini tak akan sekali-kali terikat pada kontrak sosial tersebut. Dari sinilah datangnya simpulan Hobbes, sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Leviathan, bahwa kontrak sosial -- yang bertujuan menjaga tertib sosial dengan memberikan mandat penuh kepada penguasa itu -- akan membenarkan penyelenggaraan pemerintahan otokratik yang absolut

TEORI GARDENER MURPHY
Perkembangan kepribadian dalam pandangan Gardener Murphy : merupakan tahap-tahap dinamis, berubah-ubah yang terdiri dari fase keseluruhan (tanpa differensiasi), kemudian fase diferensiasi dan fase integrasi yaitu fungsi yang sudah mengalami diferensiasi diitegrasikan dalam satu unit yang berkoordinasi. Fase keseluruhan merupakan watak umum yang mendominasi seperti pemarah, pemberani, semangat, penipu, pembelajar, petualang. Dalam perkembangan berikutnya terdiferensiasi misalnya pemberani yang memilki semangat pembelajar, penipu yang memiliki darah seni. fase integrasi yaitu fungsi yang sudah mengalami diferensiasi diitegrasikan dalam satu unit yang berkoordinasi biasanya di atas 40 tahun kepribadiannya menjadi mantap dan cenderung menetap.
Gardner Murphy (1968) menyimpulkan bahwa psikologi-psikologi itu pada hakikatnya merupakan suatu reaksi terhadap kehidupan yang dilihat sebagai penuh dengan penderitaan dan kekecewaan. Cara umum untuk mengatasi penderitaan yang dianjurkan oleh psikologi-psikologi ini adalah disiplin dan kontrol diri, yang dapat memberikan kepada orang yang mengupayakannya “suatu perasaan ekstase yang tak terbatas dan hanya dapat ditemukan dalam diri yang bebas dari pamrih-pamrih pribadi”.
Menurut Gardner Murphy, manusia dalam kajian kepribadian telah membentuk sistem pribadi yang komplek berisi keinginan-keinginan yang relatif dimiliki dan dipertahankan dan sekaligus tidak ditemukan adanya peringatan dari luar. Maka di dalam ”kepribadian” manusia tercakup sistem nilai pribadi.
Psikologi Gardner Murphy mengadakan eksperimen dengan kelinci berbulu putih. Bulu putih ini adalah turun temurun tetapi hanya dengan mengubah cahaya di dalam kamar tempat dibesarkannya kelinci itu, warna bulunya berubah menjadi gelap. Potensi warna putih itu dapat berwujud putih kalau lingkungannya memungkinkannya. Demikian juga jenis ikan tertentu seperti flounder (ikan datar/flat fish), yang memiliki tendensi untuk memiliki dua mata di setiap sisi kepalanya, apabila dibesarkan di air yang kadar garamnya berbeda, di setiap sisi kepalanya akan terdapat hanya satu mata seperti ikan-ikan lainnya. Jadi apa yang ”diwariskan”dalam satu lingkungan tidak ”diwarisi” dalam lingkungan lainnya. Lingkungan membuat berbedanya ujud disposisi keturunan.
Dari bukti semacam ini, ternyata bahwa keturunan dan lingkungan merupakan kekuatan-kekuatan yang saling tergantung, interdependent. Dalam beberapa situasi pengaruh keturunanlah yang sangat menonjol, sedangkan dalam situasi-situasi lain lingkunganlah yang memegang peranan.
Menurut hasil penelitian, ukuran, bentuk dan ujud alat-alat indera kita sebagian besar ditentukan oeh faktor keturunan. Ukuran dan bentuk hidung mengikuti pola orang tua dan merupakan ciri khas suku bangsa. Warna kulit dan tampang tubuh menuruti garis keturunan orang tua. Ukuran mulut, bentuk bibir, susuna gigi dan bentuk rahang merupakan ciri-ciri khas keluarga. Demikan pula ukuran telinga, tebal tipisnya dan ukuran lubangnya mengikuti pola-pola keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
Suryabrata, Sumadi. Psikologi kepribadian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1998.
Calvin S. Hall. and Gardner Lindzey. Teori-teori psikodinamik (klinis). Yogyakarta: Kanisius, 1993.